KARYAKU DALAM ANTOLOGI "AKU INGIN SEKOLAH"
Kepada sahabatku
di Negeri Impian
Dear sahabatku.....
Apa kabarmu di sana? di Negeri
impian itu, masihkah penuh kedamaian? Masihkah setiap cinta saling berpeluk
memberi energinya? Mungkin masih ya? Aku yakin di sana kamu pasti sedang duduk
di atas permadani, melahap makanan apa saja yang disuka. Kamu juga pasti sedang
berkumpul bersama keluarga, mereguk manisnya hidup yang tiada luka dan air
mata.
Sahabat.... Negerimu memang indah. Tak
ada manusia srigala di sana yang tega merampas hak orang lain, bahkan mereka
saling membagi kebahagiaannya. Setiap anak bebas bermain di padang hijau
ditemani kicau burung dan dipeluk hangatnya bias mentari. Di sana anak-nanak
pun bebas melukis impian. Saat yang satu berbicara “Aku ingin menjadi dokter”
yang lain menimpali “aku mau jadi pilot”. Mereka boleh bermimpi menjadi apa
saja karena pasti akan menjadi nyata sebab sehari-hari mereka bebas berfikir,
belajar, dan menggali ilmu dari mana saja. Yah... tak ada yang membatasi
mereka. Sahabatku... itulah negarimu dengan manusia-manusia yang penuh cinta
dan kedamaian di hatinya hingga mereka tak segan berbagi. Rezeki Tuhan pun
tersebar dengan rata.
Sahabat... Tapi Negeri itu tak ku
milki. Di Negeri ku ini, setiap hari air mata mengalir di mana-mana sebab untuk
menaklukkan rasa lapar saja banyak yang tidak mampu. Jangan pernah berbicara
soal impian sebab impian itu harus di kubur, dan biarkan ia membusuk. Bukan kami
ingin terus seperti ini, tapi kami hanya manusia bodoh yang tak mampu mengubah
hidup. Pendidikan hanya dimiliki oleh generasi orang-orang yang punya jabatan
sehingga kami hanya bisa menikmati sisa-sisanya saja. Bukan karena tak ada dana
pendidikan untuk kami. Tapi hak kami itu pun dirampas dengan ganas oleh
hebatnya birokrasi yang tak sehat. Kalaupun dapat, dana itu telah dipotong dan
dimasukkan ke kantong-kantong para penyalurnya.
Sahabatku... lupakanlah sejenak
kisah tentang carut marutnya pendidikan di negeri ku ini. Sebab aku masih
memilki Tuhan. Aku bersyukur. Karena karunia-Nya kini aku telah lulus sebuah sekolah
berstandar internasional. Sekolah itu mempunyai fasilitas yang lengkap. Aku pun
diajar oleh guru-guru yang profesional dengan bahasa pengantar berbahasa
Inggris. Perpustakaannya besar, buku-bukunya di datangkan langsung dari luar
negeri. Sekolah ini juga mempunyai laboratorium yang sangat memadai. Dari semua
laboratorium yang ada, aku paling suka laboratorium bahasa. Di Laboratorium ini
aku bisa meningkatkan kemampuan berbahasa inggris dengan listening, watching, dan speaking.
Hari sabtu adalah hari yang paling
aku tunggu-tunggu karena setiap hari sabtu aku mengikuti ekstrakurikuler
English Club dan Basket. Sahabat... aku sangat menyukai Bahasa Inggris. Kata
guruku, seseorang yang mampu menguasai bahasa asing memiliki harga diri yang
lebih tinggi. Karena kegemaranku terhadap bahasa inggris itulah, kini aku
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S1 di Australia. Sahabat.... aku sangat
bahagia bisa belajar di negeri kangguru itu.
Tapi tahukah kamu sahabatku, semua
nikmat ini tidak ku dapat begitu saja. Tidak semudah membalikkan tapak tangan.
Ini semua ditebus oleh darah dan air mata. Ada sosok luar biasa di balik kesuksesan ini.
Di
kala matahari masih malu-malu menunjukkan wujudnya, raga yang tak kenal lelah
itu telah bersiap memanggul cangkulnya lalu berjalan berkilo-kilo meter menuju
sawah milik kepala desa. Disana ia mengayunkan cangkulnya, menanam benih-benih
harapan agar adiknya ini bisa sekolah setinggi-tingginya. Meski upah menggarap
sawah itu tak seberapa, ia tak menyerah. Belum lagi kering keringatnya,
sepulang dari sawah ia langsung menyusuri jalan setapak menuju bukit untuk
mencari kayu. Kayu-kayu itu kemudian di olah menjadi peralatan-peralatan rumah
tangga yang akan di jajakan di pasar.
Pernah
suatu hari abang ku itu terperosok ke jurang saat mencari kayu. Saat itu
jalanan bukit terlalu licin karena hari sebelumnya hujan lebat mengguyur desa
kami. Kaki abang patah namun tak juga membuat semangatnya surut. Ia lalu
berjualan jajanan keliling dengan tongkat kayu buatannya sendiri. Ia sering di
hina bahkan pernah di ludahi. Namun hinaan demi hinaan justru membangkitkan semangatnya. Apapun ia lakukan
demi memenuhi kebutuhan pendidikanku meski ia harus menanggung derita.
Sahabat ..... abangku berpesan,
pendidikan itu adalah kebutuhan pokok dalam hidup, maka tak ada alasan untuk
tidak mengupayakan pendidikan. Biarlah negeri ini tak adil membagi pendidikan,
yang penting kita masih punya semangat untuk memperjuangkan pendidikan ini
sendiri walau harus sering-sering berpuasa karena tak ada sepiring nasi.
Sahabat.... itulah ceritaku di
negeriku yang ku cintai ini. Semoga kelak aku bisa membalas air mata dan darah
itu dengan kesuksesan. Aku juga takkan lupa jika aku jadi besar aku akan memajukan
pendidikan di negeri ini. Semua anak istimewa, maka ia berhak mendapat
pendidikan bagus. Aku takkan lupa akan pesan abang bahwa pendidikan adalah
kebutuhan pokok dalam hidup. Maka kita harus sekolah.
Sahabat... demikian isi suratku ini.
Semoga kelak negeriku ini akan menjelma menjadi negerimu. Negeri impian.
Wassalam,
Sahabatmu di Negeri Garuda
merinding dq, benerrr.
BalasHapuskerennn x ah!
Alhamdulillah... makasih kak
BalasHapussubhanallah
BalasHapusharapan adalah satu bgian dari rahmat Allah. Tnpa itu, petani gak akan mw mnanam padi , seorang ibu gak kan smgat menyusui anaknya....
Dgn harapan, tkoh dlm crta ni menulis surat ini