Jumat, 29 Juni 2012


KARYAKU DALAM ANTOLOGI "AKU INGIN SEKOLAH"

Kepada sahabatku
di Negeri Impian

Dear sahabatku.....
            Apa kabarmu di sana? di Negeri impian itu, masihkah penuh kedamaian? Masihkah setiap cinta saling berpeluk memberi energinya? Mungkin masih ya? Aku yakin di sana kamu pasti sedang duduk di atas permadani, melahap makanan apa saja yang disuka. Kamu juga pasti sedang berkumpul bersama keluarga, mereguk manisnya hidup yang tiada luka dan air mata.
            Sahabat.... Negerimu memang indah. Tak ada manusia srigala di sana yang tega merampas hak orang lain, bahkan mereka saling membagi kebahagiaannya. Setiap anak bebas bermain di padang hijau ditemani kicau burung dan dipeluk hangatnya bias mentari. Di sana anak-nanak pun bebas melukis impian. Saat yang satu berbicara “Aku ingin menjadi dokter” yang lain menimpali “aku mau jadi pilot”. Mereka boleh bermimpi menjadi apa saja karena pasti akan menjadi nyata sebab sehari-hari mereka bebas berfikir, belajar, dan menggali ilmu dari mana saja. Yah... tak ada yang membatasi mereka. Sahabatku... itulah negarimu dengan manusia-manusia yang penuh cinta dan kedamaian di hatinya hingga mereka tak segan berbagi. Rezeki Tuhan pun tersebar dengan rata.
            Sahabat... Tapi Negeri itu tak ku milki. Di Negeri ku ini, setiap hari air mata mengalir di mana-mana sebab untuk menaklukkan rasa lapar saja banyak yang tidak mampu. Jangan pernah berbicara soal impian sebab impian itu harus di kubur, dan biarkan ia membusuk. Bukan kami ingin terus seperti ini, tapi kami hanya manusia bodoh yang tak mampu mengubah hidup. Pendidikan hanya dimiliki oleh generasi orang-orang yang punya jabatan sehingga kami hanya bisa menikmati sisa-sisanya saja. Bukan karena tak ada dana pendidikan untuk kami. Tapi hak kami itu pun dirampas dengan ganas oleh hebatnya birokrasi yang tak sehat. Kalaupun dapat, dana itu telah dipotong dan dimasukkan ke kantong-kantong para penyalurnya.
            Sahabatku... lupakanlah sejenak kisah tentang carut marutnya pendidikan di negeri ku ini. Sebab aku masih memilki Tuhan. Aku bersyukur. Karena karunia-Nya kini aku telah lulus sebuah sekolah berstandar internasional. Sekolah itu mempunyai fasilitas yang lengkap. Aku pun diajar oleh guru-guru yang profesional dengan bahasa pengantar berbahasa Inggris. Perpustakaannya besar, buku-bukunya di datangkan langsung dari luar negeri. Sekolah ini juga mempunyai laboratorium yang sangat memadai. Dari semua laboratorium yang ada, aku paling suka laboratorium bahasa. Di Laboratorium ini aku bisa meningkatkan kemampuan berbahasa inggris dengan listening, watching, dan speaking.
            Hari sabtu adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu karena setiap hari sabtu aku mengikuti ekstrakurikuler English Club dan Basket. Sahabat... aku sangat menyukai Bahasa Inggris. Kata guruku, seseorang yang mampu menguasai bahasa asing memiliki harga diri yang lebih tinggi. Karena kegemaranku terhadap bahasa inggris itulah, kini aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S1 di Australia. Sahabat.... aku sangat bahagia bisa belajar di negeri kangguru itu.
            Tapi tahukah kamu sahabatku, semua nikmat ini tidak ku dapat begitu saja. Tidak semudah membalikkan tapak tangan. Ini semua ditebus oleh darah dan air mata. Ada sosok  luar biasa di balik kesuksesan ini.
Di kala matahari masih malu-malu menunjukkan wujudnya, raga yang tak kenal lelah itu telah bersiap memanggul cangkulnya lalu berjalan berkilo-kilo meter menuju sawah milik kepala desa. Disana ia mengayunkan cangkulnya, menanam benih-benih harapan agar adiknya ini bisa sekolah setinggi-tingginya. Meski upah menggarap sawah itu tak seberapa, ia tak menyerah. Belum lagi kering keringatnya, sepulang dari sawah ia langsung menyusuri jalan setapak menuju bukit untuk mencari kayu. Kayu-kayu itu kemudian di olah menjadi peralatan-peralatan rumah tangga yang akan di jajakan di pasar.
Pernah suatu hari abang ku itu terperosok ke jurang saat mencari kayu. Saat itu jalanan bukit terlalu licin karena hari sebelumnya hujan lebat mengguyur desa kami. Kaki abang patah namun tak juga membuat semangatnya surut. Ia lalu berjualan jajanan keliling dengan tongkat kayu buatannya sendiri. Ia sering di hina bahkan pernah di ludahi. Namun hinaan demi hinaan justru  membangkitkan semangatnya. Apapun ia lakukan demi memenuhi kebutuhan pendidikanku meski ia harus menanggung derita.
            Sahabat ..... abangku berpesan, pendidikan itu adalah kebutuhan pokok dalam hidup, maka tak ada alasan untuk tidak mengupayakan pendidikan. Biarlah negeri ini tak adil membagi pendidikan, yang penting kita masih punya semangat untuk memperjuangkan pendidikan ini sendiri walau harus sering-sering berpuasa karena tak ada sepiring nasi.
            Sahabat.... itulah ceritaku di negeriku yang ku cintai ini. Semoga kelak aku bisa membalas air mata dan darah itu dengan kesuksesan. Aku juga takkan lupa jika aku jadi besar aku akan memajukan pendidikan di negeri ini. Semua anak istimewa, maka ia berhak mendapat pendidikan bagus. Aku takkan lupa akan pesan abang bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok dalam hidup. Maka kita harus sekolah.
            Sahabat... demikian isi suratku ini. Semoga kelak negeriku ini akan menjelma menjadi negerimu. Negeri impian.
Wassalam,
                                                                                   
                                                                                                Sahabatmu di Negeri Garuda

3 komentar:

  1. subhanallah
    harapan adalah satu bgian dari rahmat Allah. Tnpa itu, petani gak akan mw mnanam padi , seorang ibu gak kan smgat menyusui anaknya....
    Dgn harapan, tkoh dlm crta ni menulis surat ini

    BalasHapus